Yang muda yang bergaya, yang muda yang melanggar..... who's care?(pic :PR online)
Entah mengapa, akhir-akhir ini saya malas mengendarai motor untuk bepergian. Barangkali dengan semakin hilangnya rasa aman saat di jalan raya membuat nafsu mbejek gas semakin berkurang seiiring dengan rasa ketakutan yang semakin membesar. Bagaimana rasa takut tidak semakin membesar jika setiap hari, televisi, koran, atau bahkan obrolan sesama teman isinya berupa berita-berita kecelakaan yang semakin menjadi santapan sehari-hari. Korban terkapar semakin bertebaran seirama dengan tingkah polah pengguna jalan yang semakin semau gue.
Beberapa waktu lalu, saat menemui kemacetan parah di sekitar pasar Cibinong dalam perjalanan menuju Cibubur, seperti biasa saya langsung menduga pelakunya adalah oknum sopir angkot yang ngetem sembarangan. Dan ketika melewati pusat kemacetan, barulah saya ngoh ternyata penyebabnya adalah karena kecelakaan. Sepertinya kecelakaan tunggal, karena saya hanya melihat satu motor yang tergeletak di pinggir jalan. Tidak jauh dari motornya, diantara kerumunan manusia yang menyemut, sang biker hanya terlihat ujung kedua kakinya, jari-jarinya sudah kaku memutih, kotor oleh debu dan sedikit darah, terbaring kaku tertutup koran. Sepatunya menghilang seiring dengan nyawanya menghadap sang khalik. Pemandangan sekilas yang hanya berlangsung sekian detik itu langsung mengurutkan niat saya untuk menggeber gas selepas kemacetan.
Beberapa hari kemudian, sebuah berita dari bekasi yang saya sambar dari koran dan televisi mengumandangkan sebuah kengerian lain. Ary, bocah usia SD ditemukan sudah tidak bernyawa setelah menghilang beberapa hari. Motor yang dikendarainya raib. Kuat dugaan dia menjadi korban perampasan (plus pembunuhan!). Tidak bisa saya bayangkan kesedihan yang hinggap di kedua orang tuanya dan seluruh keluarganya. Belum lepas bayang-bayang kengerian akibat peristiwa Ary tadi, menyusul kegilaan lain. Afriyani, mengemudikan xenia hitamnya dalam kondisi “fly” entah karena miras entah karena narkoba. Yang jelas, xenia hitamnya sukses menjadi algojo kematian bagi 10 orang tidak berdosa yang sedang asyik menikmati udara pagi Jakarta.
Algojo-algojo jalanan terus bermunculan....
Setelah itu, serentetan kejadian yang terjadi di panggung kehidupan bernama jalan raya terus terjadi, susul menyusul secara meyakinkan, semuanya bernuansa suram dan beraroma kematian. Dan semuanya terjadi akibat ulah pengguna jalan itu sendiri. Belum cukup umur sudah bawa mobil, ngebut lagi. Alhasil, kerumunan orang dan trotoar menjadi sirkuit kematian. Pakai motor, ban diganti yang tipis-tipis, alhasil saat meliuk, motor ngejeblak. Bikernya pun terkapar dengan kepala mengambang di genangan darahnya sendiri. Terakhir kemarin terjadi di dekat rumah saya di Cisarua, Puncak. Bus Karunia Bakti yang rem-nya blong, melaju cepat, “mengamuk” menyasar bus lain, mobil-mobil lain dan mereka yang sedang berada di pinggir jalan. 14 orang meninggal dan puluhan lainnya luka-luka. Puluhan, bahkan ratusan kejadian lainnya silahkan anda temukan di koran, televisi, google, yahoo, youtube, facebook, twitter atau mungkin anda akan menemukan sendiri kelak.
Peraturan yang ada mengenai tertib lalu lintas yang dibuat oleh yang berwenang ibarat dendang lagu kuno yang sudah tidak pantas didengarkan lagi. Peraturan seakan dibuat oleh para pengguna jalan sendiri, merekalah kini para penguasa jalanan, bukan polisi. Sebagai pengguna dan pengamat jalanan, saya sadar bahwa kepemilikan sebuah kendaraan adalah hak asasi setiap manusia. Sayangnya pertumbuhan pengguna kendaraan yang naik setiap tahun (saya sedang malas menulis tentang angka, tapi saya yakin hal ini benar 100%), tidak diimbangi dengan pemahaman akan tertib lalu lintas. Sekali lagi yang terjadi adalah motor aing kumaha aing. Peraturan? Minggat, siah!
Mengapa kejadian demi kejadian terus berlangsung, kenapa pengguna jalan raya kita tak kunjung tertib, disiplin dan cenderung nggak safety riding? Kenapa selalu ada pembiaran oleh mereka yang berwenang sehingga keliaran seperti itu makin berkembang dan makin membudaya? Untuk apa dibuat peraturan jika tidak mampu menggebuk para pelanggar? Ampun, oh my God! Mungkin hanya itu yang bisa saya ungkapan sebagai pelampiasan kekecewaan saya. Kepada Tuhan? Ya, habis ke siapa lagi? Saya tidak bisa menegur pengendara motor ABG yang berakrobatik mengendarai motornya sambil mengetik SMS, bisa-bisa saya dipelototin dan dikeroyok teman-teman geng motornya. Saya tidak bisa menegur pengendara motor belia yang dengan bebasnya melaju tanpa helm, tanpa SIM, tanpa STNK. Sopo kowe? Saudara bukan, kenalan bukan. Seandainya saya kenal dan saya aduin ke bapaknya, eh bapaknya yang nyolot. Motor gue, anak-anak gue, apa-apa urusan gue, nah lo! Saya tidak bisa menertibkan para pedagang yang bertebaran di sepanjang perempatan, melebar dari trotoar hingga badan jalan, padahal tulisan “dilarang berjualan” terpampang dengan jelas. Apa mereka tidak bisa baca? Jika saya tegur bisa-bisa saya akan babak belur dilempar sepatu, sayuran, kolor dan barang dagangan mereka lainnya. Saya tidak bisa (dan tidak berani) menegur supir angkot yang ngetem sembarangan dan menyebabkan kemacetan panjang. Jika saya lakukan, bisa-bisa mereka akan turun sembari mengayunkan kunci inggris atau dongkrak karatan. Jelas saya akan mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli perban dan betadine!
Dulu ada pasukan berani mati, sekarang ada penumpang berani mati....(pic : mediaindonesia.com)
Lebih jauh lagi, saya tidak bisa menegur perusahaan bus agar mengecek setiap komponen kendaraan sebelum para sopir berdinas. Saya tidak bisa menegur maskapai penerbangan agar selain mengecek pesawat agar mereka juga mengecek para pilot, apakah mereka ada dalam pengaruh sabu-sabua atau tidak. Saya tidak bisa menegur para nahkoda agar tidak membawa penumpang overload yang bisa menyebabkan kapal tenggelam. Saya tidak bisa menegur para masinis dan penguasa stasiun kereta api agar para penumpang tidak duduk di atas gerbang kereta berdekatan dengan kabel listrik tegangan tinggi. Saya tidak bisa begini ni..ni..ni.., saya tidak bisa begitu tu..tu..tu..
Lantas apa yang harus saya lakukan? Tetap menjadi tertib diantara yang nggak tertib? Yakinkah itu menjamin keselamatan saya? Bagaimana jika dibelakang saya ada yang mengemudikan mobil atau motor dalam keadaan fly atau mabuk? Bukankah itu tetap saja saya melaju di bawah ancaman bahaya? Bagaimana jika saya menabrak orang didepan saya yang mendadak berbelok tanpa menyalakan lampu sen? Atau saya ditabrak oleh ABG yang sedang SMS-an? Atau saya terlempar dari motor akibat jalanan berlubang yang sudah sembilan bulan sepuluh hari belum dibetulin oleh pemerintah? Masihkan slogan “dimulai dari diri sendiri” efektif mengatasi mental kumaha aing ini? Paling-paling kembali saya akan mengeluh, oh my God……..!!!
(By : Herry wongkeb, HTML Bogor-2280)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar